Sabtu, 20 Juni 2015

novel


Judul Novel     : Perempuan bernama Arjuna 1; Filsafat dalam Fiksi

Penulis             :  Remy Sylado
Penerbit           : Nuansa Cendikia
 
Saya sadar, saya tidak cantik, Tapi saya pun tidak mau seperti perempuan – perempuan lain yang mengira dirinya menjadi cantik jika memupur wajahnya dengan bedak cair setebal sekian mili, dan memasang bulu mata palsu tiga susun, sehingga jika disoroti lampu jalan pas d atas kepalanya, tampak wajahnya seperti jerangkong. Amit – amit jabang bayi.

Saya Arjuna, Serius, ini nama perempuan. Nama saya. Muasalnya, ini kekeliruan kakek dari pihak ibu, orang Jawa asli Semarang, yang mengharapkan saya lahir sebagai anak laki. Dan waktu itu kepalang usia 7 bulan dalam rahim ibu, dibuat upacara khusus dengan bubur merah-putih bagi Arjuna disertai baca-baca Weda Mantra,pusaka pustaka warisan Sunan Kalijaga.

Walaupun saya tahu, saya tidak cantik, toh saya memiliki rasa percaya diri yang luar biasa, yaitu berdasarkan observasi, bahwa semua perempuan yang paling jelek pun, pasti bisa membuat laki-laki dalam darurat, terserang mata keranjang. Saya tahu persis hal itu dari observasi selama kuliah filsafat di sini, Amsterdam. Observasi saya adalah terhadap perempuan-perempuan Zeedijk, wilayah dalam kota dimana sundal-sundal dipajang telanjang di etalase-etalase pinggir jalan. Dan, laki-laki siapapun terpanggil untuk memberi mereka uang, segera mendapat kesenangan dari lesung yang siap melayani alu-alu.

Di Amsterdam sini saya belajar tentang kehidupan yang nyata lewat Zeedjik atau disebut juga Rode Lamp, artinya ‘lampu merah’, di luar kuliah saya di fakultas filsafat. Di sini daya belajar filsafat Barat. Saya tertarik mempelajari ini di bawah latar ke timuran saya yang nia kuat melekat dalam tubuh-jiwa-roh saya. Itu merepotkan hati-sanubari, tapi menagkaskan akal-budi. Sebagaimana sudah saya katakana, ibu saya Jawa dan sikap budayanya sangat dualistis, tersua dalam bahasanya. Misalnya, pada silabel-silabel ini sa-ri-ra-sa-tung-gal, bisa dibaca “sari rasa tunggal” tapi bisa juga “sarira satunggal”.

Dan untuk member kesimpulan sehari-hari yang sederhana atas dualism itu, saya sendiri mengaku: orang Jawa mbulet dan apa makna sejati mbulet, ternyata itu harus dikaji dengan di bawah latar budaya, pekerti tamadun. Demikian latar darah ibu yang saya warisi dalam diri saya sejak lahir. Untuk banyak hal ibu saya benar. Ibu saya sarjana psiokologi. Artinya, sebagai Jawa dia belajar ilmu Barat juga. Ciri ilmu-ilmu Barat selalu berprogres disertai diskursus-diskursus yang selalu diuji dalam diskusi dan debat. Ibu saya berbeda dengan ayah saya. Ayah saya Tionghoa. Orang Tionghoa bisa saja Kristen-Katolik dan Protestan seperti ayah saya, tapi ikatan primordial Cina yang diperciri pada sinkretisme tiga agama rakyat Tao-Konghucu-Buddha- yang disebut dalam bahasa Mandarin Han San Wei Yi- demikian kokoh juga menjiwai sifat-sifat dan sikap cultural ayah saya. Orang sering terkecoh melihat ayah saya tidak berkulit terang sperti umumnya Tionghoa. Kulit ayah saya kehitaman. Tak heran, sejak 1982, ketika ayah masih remaja dan belum menikah dengan ibu saya , teman-teman di Solo menyebutnya Hitachi, singkatan bahasa prokem untuk “hitam tapi Cina”. Tentu yang mengkhawatirkan bagi seorang yang hitam manis, adalah nanti ketika dia tua, niscaya manisnya hilang dikikis waktu, tapi hitamnya awet menantang waktu.

Acapkali saya saya tergoda untuk berfikir menurut pola vitalisme, yaitu gaya hidup yang dikritik widya teologi sebagai bagian dari pandangan biologi Friedrich Nietzsche, bahwa senyampang muda dan kuat, katakana saja dengan berani Tuhan sudah mati. Lalu hidup senang tanpa Tuhan, dan kesenangan yang paling indah. Gerangan ada didalam vagina. Dari pengetahuan tentang piranti seks yang sudah menyatu dalam sebuah tubuh saya selama 25 tahun- walupun saya sering was-was kalau-kalau sperma kekasih mukim lama-lama dirahim saya sampai menjadi janin-saya tetap merasa asyik membahas kelamin saya ini dari ilmu biologi.

Dulu ketika saya pertama mengalami sobeknya hymen,rasanya perih, dan bersumpah tidak mau melakukan itu lagi. Tapi sekarang, setelah kulina, malah saya seperti kecanduan. Jika saya terangsang, karena adegan yang dimulai dari cipika-cipiki (cium pipi kanan cium pipi kiri) lantas berlanjut menjadi cibiba-cibita (cium bibir bawah cium bibir atas), maka lambat laun dinding bagian dalam vagina membasah, dan hal itu menolong lakilaki memperlancar koeksistensi damai dalam tindakan yang disebut koitus. Ketika saya bilang syukur sebab pemilikan benda berharga ini, kedengarannya saya religious. O ,ya tentu. Kata syukur hanya berlaku sebagai nomina sekaligus partikel bagi manusia pada Tuhan.

Ketika saya pulang libur ke Indonesia dan mengatakan kepada ibu saya bahwa sekarang saya belajar telogi, ibu saya yang bersikukuh menagatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang paling tinggi, mengulang lagi pernyataan itu. Katanya, “Aduh Arjuna, percayalah ilmu yang paling ilmu adalah psikologi, sebab psikologi mempelajari kelakuan-kelakuan manusia“. Namun, dari kata-kata yang tidak saya mengerti keluar dari mulut manusia, saya yakin adanya makna di dalamnya, dan dengan begitu saya terus belajar lebih dalam, memahami apa hubungan bahasa dengan filsafat yang selama itu suda saya pelajari?

Manakala saya berpikir-pikir pasal hubungan filsafat dengan bahasa , karuan saya ingat nama Ludwig Wittgenstein, yang menarik dari filsafat Wittgenstein ini adalah, bahasa itu suatu permainan, yaitu permainan dalam aktivitas yang dilakukan aturan-aturan. Bagaimana pula itu? Itu pertanyaan saya kepada teman kulia saya  Amin al-Ma’luf. Teman kulia saya ini orang Arab Kristen asal Lebanon. Mulanya saya anggap ini aneh: arab ko Kristen. Dalam kuliah filsafat semua mahasiwa hanya 16 orang dan saya mendapat dosen yang mengajari saya yang bernama Profesor Bloembergen  seorang perempuan berusia matang 47 tahun, berambut coklat dipotong pendek.

Dengan Profesor Bloembergen saya menjalani kuliah yang akrab itu selama satu tahun, mengenali kembali secara mendasar pengertian filsafat yang membahas perbedaan-perbedaan pandangan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya. Saya merasa beruntung, bahwa waktu duduk di bangku SMA dulu, saya memilih belajar di bagian ilmu pasti alam, belajar matematika sebagai ilmu yang menyenangkan. Kini saya tahu, bahwa kalau saya  tidak mempunyai dasar pengetahuan matematika, maka saya sulit memahami filsafat. Dalam perkuliahan yang diajarkan Profesor Bloembergen saya banyak belajar orang-orang besar seperti Plato, Aristoteles. Filsafat Plato merupakan pedoaman cantik bagi pikiran-pikiran filsafat lain, baik dan didepan masanya maupun dibelakang masanya. Demikian hebatnya nama Plato sampai-sampai banyak orang mengenal namanya tanpa membaca pikiran-pikirannya. Dan banyak lagi para filsafat hebat yang diajarkan oleh Profesor Bloembergen. Saya masih mengikuti Profesor Bloembergen sampai April.

Sebelum April nanti saya memilih spesialis apologetika, saya masih mempelajari beberapa perbandingan filsafat dari zaman renggangnya humanism dengan gerja, dikuliahkan dengan menyenangkan, ,maka tidak ragu masuk juga ilmu yang diberinya itu ke otak saya. Pada saat hari terakhir mengikuti kelas Profesor Bloembergen mengingatkan kembali pengajaran yang dulu sudah diajarkan yaitu filsafat tokoh-tokoh Prancis seperti Voltaire, Diderot, Rousseau banyak hal menarik yang ada dalam filsafat tokoh-tokoh Prancis tersebut. Seusai perkuliahan saya menemui Profesor Bloembergen dan mengucapkan terimakasih atas pelajaran yang sudah diberikannya selama perkuliahan.

Setelah perkuliahan dengan Profesor Bloembergen saya menjalani perkuliahan dengan Prof. Dr. Jean-Claude van Damme SJ pastor Jesuit 60an tahun yang mengajarkan teologi apologetik. Kesan saya dalam sekali melihat dia dingin seperti mayat,cendekia,namun rasa percaya dirinya kelewat tinggi seingga kelihatan pula dia seorang yang congkak.Pada kelas Van Damme selalu dilangsungkan pada malam hari. Maka terasa sepi. Apalgi mahasiswanya Cuma Sembilan orang termasuk saya dan rata-rata umur mereka diatas 40-an dan saya satu-satunya dalam kelas yang berumur dibawah 30 tahun. Perempuan yang lain adalah Marijke Teeuwen, ibu satu anak, bekerja sebagai pendeta pembantu bagi jemaat orang-orang Suriname di Amstelven, luar Amsterdam.

Perkuliahan pun dimulai. Kata-kata Van Damme yang pertama memulai kuliahnya, adalah, “Apologetik, barangkali kita semua tahu, bersumber dari surat Paus yang pertama, Kefas yang disebut Simon Petrus, yaitu arahannya untuk mempertanggung jawabkan Iman terhadap serangan verbal yang dilancarkan secara filsafat oelh orang-orang cerdik-pandai yang tidak percaya pada yesus sebagai jalan kebenaran dan hidup.

Selama perkuliahan berlangsung saya mengajukan beberapa pertanyaan dan Profesor Van Damme tersenyum dan mengucapkan kata “cantik” kepada saya. Saya kaget karena dia bilang sesuatu yang sunguh-sungguh baru dalam pengetahuan saya: cantik. Apa dia bermaksud mengatakan saya cantik, padahal sumpah mampus disamber gledeg, seumur-umur saya tahu, saya tidak cantik. Juga saya kaget, sebab kelihatannya dia tidak ingin seperti mayat sebagaimana dugaan saya tadi. Dan setiap saya mengajukan dan pertanyaa dari Profesor Van Damme, dia selalu mengucapkan kata cantik pada awal dan kalimat yang ia katakan kepada saya. Sebelum Meninggalkan kelas, Van Damme menjabati tangan kesembilan tangan mahasiswanya, sampai mengucapkan sembilan kali kalimat yang sama kepada mahasiswa-mahasiswa itu. “Dominus tecum.” Saya menggangguk. Dia menatap canggung.
  
Selama diajarkan dengan Profesor van Damme saya mulai memiliki rasa terhadap pria yang berumur 60an tahun itu. Saya merasa senang mengikuti kelas Profesor  Van Damme karena ungkapan-ungkapannya yang seenaknya, kocak tapi kritis dan cendikia.Pada suatu saat perkuliahan telah selesai saya berjalan keparkiran dan berharap akan dijemput teman saya yang pecan silam menjemput saya. Tapi saat itu dia tidak ada dan yang ada malahan justru Van Damme yang muncul dibelakang saya. “kamu dijemput pacarmu?”Tanya dia. Jawaban saya “Tidak”. “Ya sudah naik mobil saya saja.” Kata Van Damme, “Saya antar kamu.”. Dan selama perjalanan menuju rumah kos saya dan Van Damme berdialog sampai menuju rumah kos. Sesampainya di rumah kos saya mengucapkan “Terimakasih”. Diluar dugaan saya dia juga turun dan menghampiri saya lalu mencium pipi saya secara Belanda yaitu tiga kali kecup pipi kiri,pipi kanan dan pipi kiri lagi. Dan setelah itu saya merasa senang terhadap laki-laki berumur 60an itu. Dan setelah itu setiap masuk kuliah kelas Van Damme saya diantar jemput sama Van Damme dengan mobilnya. Setelah sering diantar jemput oleh Van Damme yang awalnya hanya cium pipi kiri, pipi kanan dan pipi kiri lagi pada saat pulang kerumah kos, Van Damme mencium bibir saya. Saya pun merasa berjalan diatas awan.

Sumpah mampus saya rindu dengan Van Damme ingin dicium lagi olehnya. Beberapa hari menunggu kontak darinya. Ternyata dia tidak menghubungi saya. Saya pun mencoba menghubunginya dengan mengirim sms kepadanya. Dan tidak beberapa lama dia membalas sms saya. Karena jawaban saya yang hanya “oh” dalam percakapan sms itu Van Damme pun terjangkit penasaran. Lalu Van Damme menyakan saya berada dimana dan saya membalas “saya dirumah kos”. Setelah itu dia membalas “saya akan menjemputmu”. Tidak beberapa kemudian Van Damme sampai dirumah kos. Van Damme pun memeluk dan mencium saya dengan lebih hangat. Setealh itu dia berkata,”kita ke Njmegen ya?”. Saya manut. Mobilpun melaju ke tenggara ke provinsi Gelderland. Disana ada restoran Indonesia yang lebi terasa Indonesia ketimbang restoran yang ada di seantero Belanda. Disana saya dan Van Damme makan sore menjelang malam. Setelah Langit berwarna hitam kami pulang ke Amsterdam. Ditengah perjalan menuju Amsterdam Van Damme menghentikan mobilnya ditempat yang gelap dan menarik leher saya dan melalukan hal yang tidak terduga yaitu melakukan bercumbu. Saya pun berkata “Jangan, Prof,” saya memegang tangganya dan menariknya keluar. “Kenapa?” kata dia, berkeras memasukan kembali tangganya.

Saya pun mengambil keputusan naïf dan mengucapkan “Terserah Prof saja”. Dan dia berkata “Oke”. Dia memacu mobilnya ke arah barat laut ke kota Hilversum masuk ke hotel dan di dalam kamar hotel itu Van Damme mencumbui saya. Akhirnya semua tema lam saya pun tahu saya pacaran dengan Van Damme dan merekan pun menjauh. Selama enam bulan pacaran dengan Van Damme. Hamper setiap minggu kami bersetubuh di hotel yang sama. Pada memasuki bulan ke tujuh tiba-tiba Van Damme menghilang tanpa bilang-bilang. Saya menelponnya,smsny  terus menerus dan tidak ada jawaban. Saya pun merasa kehilangan. Kedudukan Van Damme sendiri digantikan oleh profesor Craig Cox. Saya pun meratap, di manakah gerangan dikau wahai jantunghati beta?. Saya mendatangi Bloembergen, bertanya dimana Van Damme. Dan dia menjawab bahwa Van Damme “dibuang” ke Canada karena dia sudah sering melakukan skandal seks. Dalam keadaan patah hati saya menelepon ibu dan ayah saya. Saya puncurhat dengan ibu dan ayah saya. Berjalannya waktu hati saya pun hampa tanpa Van Damme. Setelah setahun, ketika saya sedang membaca dan mendegarkan lagu telpon pun berbunyi dan lalu saya mengangkat telpon itu dan terdengar suara yang saya kenali suara itu adalah suara Van Damme. Dia pun meminta agar saya tidak marah dan dia akan kembali ke Amsterdam besok dan akan menjelaskan semuanya.

Besok harinya pukul 6.00 telpon berbunyi Van Damme berada disuatu tempat dan dia berkata dia sudah mendarat di Schipdol. Tiga jam kemudian Van Damme tiba dirumah kos saya. Dia menjelaskan semua yang terjadi kepada saya kenapa Van Damme meninggalkan saya tanpa bilang-bilang. Setela menjelaskan semua Van Damme memeluk dan mencium saya. Pada libur panjang nanti saya akan pulang ke Indonesia dan dia pun ingin pergi bersama-sama dengan saya. Saya pulang ke Jakarta dengan Van Dammed dan saya memperkenalkan Van Damme kepada ayah dan ibu saya. Setelah beberapa lama saya tiba di tana air itu saya dan Van Damme melangsungkan pernikahan. Sebelum melakukan pesta penikahan ini ayah dan ibu saya sudah ke belanda menurus surat kawin itu. Lebih gampang mengurus di belanda dibanding di Indonesia yang semuanya dibikin berbelit-belit oelh pejabatnya terlalu banyak cengkueknya. Stelah pesta beberapa hari kemudian kami berbulan madu ke bandung.Tapi disamping itu ayah saya menyuruh kami menemui Kan Hok Hoei untuk dimintai petuah-petuah soal xing bie dalam bahasa mandarin yang artinya ‘seks’. Kata ayah saya, “itu warisan pengetahuan Cina tentang bagaimana menjaga keharmonisan keluarga melalui kamar tidur. Kami pun menuju rumah Kan Hok Hoei di Jl. Otto iskandardinata. Bicara dengan Kan Hok Hoei menyenangkan. Dia seorang engkong berumur 82 tahun yang masih sangat gesit. Kan Hok Hoei bercerita panjang lebar soal xi gua atau tradisi ‘seni kamar tidur’. Banyak wejangan yang diberikan oleh Kan Hoek Hoei. Lalu dalam tidak tidur di larut malam pada hari terakhir bulanmadu di Bandung ini., saya sempat membuat lagu dari kata-kata sakti “aku cinta kau”.itu. Setelah itu dari kemauan membuat lagu itu, saya mendapat pengertian kearah apologia yang rill – yang selama ini praktiknya sudah berlangsung dalam hirup dan hembus nafas di hidung, namun belum sempat diwacanakan – bahwa cinta tulen memang harus dimulai dari naluri, kemudian diperisai oleh nurani.

Menerangkan cinta dalam pengetahuan macam itu agaknya bisa dibilang jelimet, sabab itu terlalu muluk untuk disebut makrifat, tapu juga terlalu sepele untuk disebut rasam. Padahal cinta itu itu suatu keindahan yang tiada terperi. Tidak ada persamaan arti, baik nomina, adjektiva, maupun adverbial, yang melebihi keindahan cinta. Arkiran, tanpa diduga saya menumakan jawaban lewat lagu yang saya buat itu, suatu apologetic sejati, utuh, dan mudah yang selama ini ada dalam setiap detak jantung dan denyut nadi yaitu pada kalimat yang harus diucapkan dengan tulus dengan jujur dengan bebas lewat jalinan subjek-predikat-objek. Bahwa dalam “aku cinta kau” niscaya ada “kau cinta aku”.

Sekarang saya sudah menemukannya. Di sinilah jantung hati beta. Alhamdulillah.


0 komentar:

Posting Komentar