Judul Novel : Perempuan bernama Arjuna 1; Filsafat
dalam Fiksi
Penulis :
Remy Sylado
Penerbit : Nuansa Cendikia
Saya sadar, saya tidak cantik, Tapi saya pun tidak mau seperti perempuan – perempuan lain yang mengira dirinya menjadi cantik jika memupur wajahnya dengan bedak cair setebal sekian mili, dan memasang bulu mata palsu tiga susun, sehingga jika disoroti lampu jalan pas d atas kepalanya, tampak wajahnya seperti jerangkong. Amit – amit jabang bayi.
Saya
Arjuna, Serius, ini nama perempuan. Nama saya. Muasalnya, ini kekeliruan kakek
dari pihak ibu, orang Jawa asli Semarang, yang mengharapkan saya lahir sebagai
anak laki. Dan waktu itu kepalang usia 7 bulan dalam rahim ibu, dibuat upacara
khusus dengan bubur merah-putih bagi Arjuna disertai baca-baca Weda
Mantra,pusaka pustaka warisan Sunan Kalijaga.
Walaupun
saya tahu, saya tidak cantik, toh saya memiliki rasa percaya diri yang luar
biasa, yaitu berdasarkan observasi, bahwa semua perempuan yang paling jelek
pun, pasti bisa membuat laki-laki dalam darurat, terserang mata keranjang. Saya
tahu persis hal itu dari observasi selama kuliah filsafat di sini, Amsterdam. Observasi
saya adalah terhadap perempuan-perempuan Zeedijk, wilayah dalam kota dimana
sundal-sundal dipajang telanjang di etalase-etalase pinggir jalan. Dan,
laki-laki siapapun terpanggil untuk memberi mereka uang, segera mendapat
kesenangan dari lesung yang siap melayani alu-alu.
Di
Amsterdam sini saya belajar tentang kehidupan yang nyata lewat Zeedjik atau
disebut juga Rode Lamp, artinya ‘lampu merah’, di luar kuliah saya di fakultas
filsafat. Di sini daya belajar filsafat Barat. Saya tertarik mempelajari ini di
bawah latar ke timuran saya yang nia kuat melekat dalam tubuh-jiwa-roh saya.
Itu merepotkan hati-sanubari, tapi menagkaskan akal-budi. Sebagaimana sudah
saya katakana, ibu saya Jawa dan sikap budayanya sangat dualistis, tersua dalam
bahasanya. Misalnya, pada silabel-silabel ini sa-ri-ra-sa-tung-gal, bisa dibaca
“sari rasa tunggal” tapi bisa juga “sarira satunggal”.
Dan
untuk member kesimpulan sehari-hari yang sederhana atas dualism itu, saya
sendiri mengaku: orang Jawa mbulet dan apa makna sejati mbulet, ternyata itu
harus dikaji dengan di bawah latar budaya, pekerti tamadun. Demikian latar
darah ibu yang saya warisi dalam diri saya sejak lahir. Untuk banyak hal ibu
saya benar. Ibu saya sarjana psiokologi. Artinya, sebagai Jawa dia belajar ilmu
Barat juga. Ciri ilmu-ilmu Barat selalu berprogres disertai diskursus-diskursus
yang selalu diuji dalam diskusi dan debat. Ibu saya berbeda dengan ayah saya.
Ayah saya Tionghoa. Orang Tionghoa bisa saja Kristen-Katolik dan Protestan
seperti ayah saya, tapi ikatan primordial Cina yang diperciri pada sinkretisme
tiga agama rakyat Tao-Konghucu-Buddha- yang disebut dalam bahasa Mandarin Han
San Wei Yi- demikian kokoh juga menjiwai sifat-sifat dan sikap cultural ayah
saya. Orang sering terkecoh melihat ayah saya tidak berkulit terang sperti
umumnya Tionghoa. Kulit ayah saya kehitaman. Tak heran, sejak 1982, ketika ayah
masih remaja dan belum menikah dengan ibu saya , teman-teman di Solo
menyebutnya Hitachi, singkatan bahasa prokem untuk “hitam tapi Cina”. Tentu
yang mengkhawatirkan bagi seorang yang hitam manis, adalah nanti ketika dia
tua, niscaya manisnya hilang dikikis waktu, tapi hitamnya awet menantang waktu.
Acapkali
saya saya tergoda untuk berfikir menurut pola vitalisme, yaitu gaya hidup yang
dikritik widya teologi sebagai bagian dari pandangan biologi Friedrich
Nietzsche, bahwa senyampang muda dan kuat, katakana saja dengan berani Tuhan
sudah mati. Lalu hidup senang tanpa Tuhan, dan kesenangan yang paling indah.
Gerangan ada didalam vagina. Dari pengetahuan tentang piranti seks yang sudah
menyatu dalam sebuah tubuh saya selama 25 tahun- walupun saya sering was-was
kalau-kalau sperma kekasih mukim lama-lama dirahim saya sampai menjadi
janin-saya tetap merasa asyik membahas kelamin saya ini dari ilmu biologi.
Dulu
ketika saya pertama mengalami sobeknya hymen,rasanya perih, dan bersumpah tidak
mau melakukan itu lagi. Tapi sekarang, setelah kulina, malah saya seperti
kecanduan. Jika saya terangsang, karena adegan yang dimulai dari cipika-cipiki
(cium pipi kanan cium pipi kiri) lantas berlanjut menjadi cibiba-cibita (cium
bibir bawah cium bibir atas), maka lambat laun dinding bagian dalam vagina
membasah, dan hal itu menolong lakilaki memperlancar koeksistensi damai dalam
tindakan yang disebut koitus. Ketika saya bilang syukur sebab pemilikan benda
berharga ini, kedengarannya saya religious. O ,ya tentu. Kata syukur hanya
berlaku sebagai nomina sekaligus partikel bagi manusia pada Tuhan.
Ketika
saya pulang libur ke Indonesia dan mengatakan kepada ibu saya bahwa sekarang
saya belajar telogi, ibu saya yang bersikukuh menagatakan bahwa psikologi
adalah ilmu yang paling tinggi, mengulang lagi pernyataan itu. Katanya, “Aduh
Arjuna, percayalah ilmu yang paling ilmu adalah psikologi, sebab psikologi
mempelajari kelakuan-kelakuan manusia“. Namun, dari kata-kata yang tidak saya
mengerti keluar dari mulut manusia, saya yakin adanya makna di dalamnya, dan
dengan begitu saya terus belajar lebih dalam, memahami apa hubungan bahasa
dengan filsafat yang selama itu suda saya pelajari?
Manakala
saya berpikir-pikir pasal hubungan filsafat dengan bahasa , karuan saya ingat
nama Ludwig Wittgenstein, yang menarik dari filsafat Wittgenstein ini adalah,
bahasa itu suatu permainan, yaitu permainan dalam aktivitas yang dilakukan
aturan-aturan. Bagaimana pula itu? Itu pertanyaan saya kepada teman kulia
saya Amin al-Ma’luf. Teman kulia saya
ini orang Arab Kristen asal Lebanon. Mulanya saya anggap ini aneh: arab ko Kristen.
Dalam kuliah filsafat semua mahasiwa hanya 16 orang dan saya mendapat dosen yang
mengajari saya yang bernama Profesor Bloembergen seorang perempuan berusia matang 47 tahun,
berambut coklat dipotong pendek.
Dengan
Profesor Bloembergen saya menjalani kuliah yang akrab itu selama satu tahun,
mengenali kembali secara mendasar pengertian filsafat yang membahas
perbedaan-perbedaan pandangan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya. Saya
merasa beruntung, bahwa waktu duduk di bangku SMA dulu, saya memilih belajar di
bagian ilmu pasti alam, belajar matematika sebagai ilmu yang menyenangkan. Kini
saya tahu, bahwa kalau saya tidak
mempunyai dasar pengetahuan matematika, maka saya sulit memahami filsafat. Dalam
perkuliahan yang diajarkan Profesor Bloembergen saya banyak belajar orang-orang
besar seperti Plato, Aristoteles. Filsafat Plato merupakan pedoaman cantik bagi
pikiran-pikiran filsafat lain, baik dan didepan masanya maupun dibelakang
masanya. Demikian hebatnya nama Plato sampai-sampai banyak orang mengenal
namanya tanpa membaca pikiran-pikirannya. Dan banyak lagi para filsafat hebat
yang diajarkan oleh Profesor Bloembergen. Saya masih mengikuti Profesor
Bloembergen sampai April.
Sebelum
April nanti saya memilih spesialis apologetika, saya masih mempelajari beberapa
perbandingan filsafat dari zaman renggangnya humanism dengan gerja, dikuliahkan
dengan menyenangkan, ,maka tidak ragu masuk juga ilmu yang diberinya itu ke
otak saya. Pada saat hari terakhir mengikuti kelas Profesor Bloembergen
mengingatkan kembali pengajaran yang dulu sudah diajarkan yaitu filsafat
tokoh-tokoh Prancis seperti Voltaire, Diderot, Rousseau banyak hal menarik yang
ada dalam filsafat tokoh-tokoh Prancis tersebut. Seusai perkuliahan saya
menemui Profesor Bloembergen dan mengucapkan terimakasih atas pelajaran yang
sudah diberikannya selama perkuliahan.
Setelah
perkuliahan dengan Profesor Bloembergen saya menjalani perkuliahan dengan Prof.
Dr. Jean-Claude van Damme SJ pastor Jesuit 60an tahun yang mengajarkan teologi apologetik.
Kesan saya dalam sekali melihat dia dingin seperti mayat,cendekia,namun rasa
percaya dirinya kelewat tinggi seingga kelihatan pula dia seorang yang congkak.Pada
kelas Van Damme selalu dilangsungkan pada malam hari. Maka terasa sepi. Apalgi
mahasiswanya Cuma Sembilan orang termasuk saya dan rata-rata umur mereka diatas
40-an dan saya satu-satunya dalam kelas yang berumur dibawah 30 tahun. Perempuan
yang lain adalah Marijke Teeuwen, ibu satu anak, bekerja sebagai pendeta
pembantu bagi jemaat orang-orang Suriname di Amstelven, luar Amsterdam.
Perkuliahan
pun dimulai. Kata-kata Van Damme yang pertama memulai kuliahnya, adalah,
“Apologetik, barangkali kita semua tahu, bersumber dari surat Paus yang
pertama, Kefas yang disebut Simon Petrus, yaitu arahannya untuk mempertanggung
jawabkan Iman terhadap serangan verbal yang dilancarkan secara filsafat oelh
orang-orang cerdik-pandai yang tidak percaya pada yesus sebagai jalan kebenaran
dan hidup.
Selama
perkuliahan berlangsung saya mengajukan beberapa pertanyaan dan Profesor Van
Damme tersenyum dan mengucapkan kata “cantik” kepada saya. Saya kaget karena
dia bilang sesuatu yang sunguh-sungguh baru dalam pengetahuan saya: cantik. Apa
dia bermaksud mengatakan saya cantik, padahal sumpah mampus disamber gledeg,
seumur-umur saya tahu, saya tidak cantik. Juga saya kaget, sebab kelihatannya dia
tidak ingin seperti mayat sebagaimana dugaan saya tadi. Dan setiap saya
mengajukan dan pertanyaa dari Profesor Van Damme, dia selalu mengucapkan kata
cantik pada awal dan kalimat yang ia katakan kepada saya. Sebelum Meninggalkan
kelas, Van Damme menjabati tangan kesembilan tangan mahasiswanya, sampai
mengucapkan sembilan kali kalimat yang sama kepada mahasiswa-mahasiswa itu.
“Dominus tecum.” Saya menggangguk. Dia menatap canggung.
Selama
diajarkan dengan Profesor van Damme saya mulai memiliki rasa terhadap pria yang
berumur 60an tahun itu. Saya merasa senang mengikuti kelas Profesor Van Damme karena ungkapan-ungkapannya yang
seenaknya, kocak tapi kritis dan cendikia.Pada suatu saat perkuliahan telah
selesai saya berjalan keparkiran dan berharap akan dijemput teman saya yang
pecan silam menjemput saya. Tapi saat itu dia tidak ada dan yang ada malahan
justru Van Damme yang muncul dibelakang saya. “kamu dijemput pacarmu?”Tanya
dia. Jawaban saya “Tidak”. “Ya sudah naik mobil saya saja.” Kata Van Damme,
“Saya antar kamu.”. Dan selama perjalanan menuju rumah kos saya dan Van Damme
berdialog sampai menuju rumah kos. Sesampainya di rumah kos saya mengucapkan
“Terimakasih”. Diluar dugaan saya dia juga turun dan menghampiri saya lalu
mencium pipi saya secara Belanda yaitu tiga kali kecup pipi kiri,pipi kanan dan
pipi kiri lagi. Dan setelah itu saya merasa senang terhadap laki-laki berumur
60an itu. Dan setelah itu setiap masuk kuliah kelas Van Damme saya diantar
jemput sama Van Damme dengan mobilnya. Setelah sering diantar jemput oleh Van
Damme yang awalnya hanya cium pipi kiri, pipi kanan dan pipi kiri lagi pada
saat pulang kerumah kos, Van Damme mencium bibir saya. Saya pun merasa berjalan
diatas awan.
Sumpah
mampus saya rindu dengan Van Damme ingin dicium lagi olehnya. Beberapa hari
menunggu kontak darinya. Ternyata dia tidak menghubungi saya. Saya pun mencoba
menghubunginya dengan mengirim sms kepadanya. Dan tidak beberapa lama dia
membalas sms saya. Karena jawaban saya yang hanya “oh” dalam percakapan sms itu
Van Damme pun terjangkit penasaran. Lalu Van Damme menyakan saya berada dimana
dan saya membalas “saya dirumah kos”. Setelah itu dia membalas “saya akan
menjemputmu”. Tidak beberapa kemudian Van Damme sampai dirumah kos. Van Damme
pun memeluk dan mencium saya dengan lebih hangat. Setealh itu dia berkata,”kita
ke Njmegen ya?”. Saya manut. Mobilpun melaju ke tenggara ke provinsi
Gelderland. Disana ada restoran Indonesia yang lebi terasa Indonesia ketimbang
restoran yang ada di seantero Belanda. Disana saya dan Van Damme makan sore
menjelang malam. Setelah Langit berwarna hitam kami pulang ke Amsterdam.
Ditengah perjalan menuju Amsterdam Van Damme menghentikan mobilnya ditempat
yang gelap dan menarik leher saya dan melalukan hal yang tidak terduga yaitu
melakukan bercumbu. Saya pun berkata “Jangan, Prof,” saya memegang tangganya
dan menariknya keluar. “Kenapa?” kata dia, berkeras memasukan kembali
tangganya.
Saya
pun mengambil keputusan naïf dan mengucapkan “Terserah Prof saja”. Dan dia
berkata “Oke”. Dia memacu mobilnya ke arah barat laut ke kota Hilversum masuk
ke hotel dan di dalam kamar hotel itu Van Damme mencumbui saya. Akhirnya semua
tema lam saya pun tahu saya pacaran dengan Van Damme dan merekan pun menjauh.
Selama enam bulan pacaran dengan Van Damme. Hamper setiap minggu kami
bersetubuh di hotel yang sama. Pada memasuki bulan ke tujuh tiba-tiba Van Damme
menghilang tanpa bilang-bilang. Saya menelponnya,smsny terus menerus dan tidak ada jawaban. Saya pun
merasa kehilangan. Kedudukan Van Damme sendiri digantikan oleh profesor Craig
Cox. Saya pun meratap, di manakah gerangan dikau wahai jantunghati beta?. Saya
mendatangi Bloembergen, bertanya dimana Van Damme. Dan dia menjawab bahwa Van
Damme “dibuang” ke Canada karena dia sudah sering melakukan skandal seks. Dalam
keadaan patah hati saya menelepon ibu dan ayah saya. Saya puncurhat dengan ibu
dan ayah saya. Berjalannya waktu hati saya pun hampa tanpa Van Damme. Setelah
setahun, ketika saya sedang membaca dan mendegarkan lagu telpon pun berbunyi
dan lalu saya mengangkat telpon itu dan terdengar suara yang saya kenali suara
itu adalah suara Van Damme. Dia pun meminta agar saya tidak marah dan dia akan
kembali ke Amsterdam besok dan akan menjelaskan semuanya.
Besok
harinya pukul 6.00 telpon berbunyi Van Damme berada disuatu tempat dan dia
berkata dia sudah mendarat di Schipdol. Tiga jam kemudian Van Damme tiba
dirumah kos saya. Dia menjelaskan semua yang terjadi kepada saya kenapa Van
Damme meninggalkan saya tanpa bilang-bilang. Setela menjelaskan semua Van Damme
memeluk dan mencium saya. Pada libur panjang nanti saya akan pulang ke
Indonesia dan dia pun ingin pergi bersama-sama dengan saya. Saya pulang ke
Jakarta dengan Van Dammed dan saya memperkenalkan Van Damme kepada ayah dan ibu
saya. Setelah beberapa lama saya tiba di tana air itu saya dan Van Damme melangsungkan
pernikahan. Sebelum melakukan pesta penikahan ini ayah dan ibu saya sudah ke
belanda menurus surat kawin itu. Lebih gampang mengurus di belanda dibanding di
Indonesia yang semuanya dibikin berbelit-belit oelh pejabatnya terlalu banyak
cengkueknya. Stelah pesta beberapa hari kemudian kami berbulan madu ke
bandung.Tapi disamping itu ayah saya menyuruh kami menemui Kan Hok Hoei untuk
dimintai petuah-petuah soal xing bie dalam bahasa mandarin yang artinya ‘seks’.
Kata ayah saya, “itu warisan pengetahuan Cina tentang bagaimana menjaga
keharmonisan keluarga melalui kamar tidur. Kami pun menuju rumah Kan Hok Hoei
di Jl. Otto iskandardinata. Bicara dengan Kan Hok Hoei menyenangkan. Dia
seorang engkong berumur 82 tahun yang masih sangat gesit. Kan Hok Hoei
bercerita panjang lebar soal xi gua atau tradisi ‘seni kamar tidur’. Banyak
wejangan yang diberikan oleh Kan Hoek Hoei. Lalu dalam tidak tidur di larut
malam pada hari terakhir bulanmadu di Bandung ini., saya sempat membuat lagu
dari kata-kata sakti “aku cinta kau”.itu. Setelah itu dari kemauan membuat lagu
itu, saya mendapat pengertian kearah apologia yang rill – yang selama ini
praktiknya sudah berlangsung dalam hirup dan hembus nafas di hidung, namun
belum sempat diwacanakan – bahwa cinta tulen memang harus dimulai dari naluri,
kemudian diperisai oleh nurani.
Menerangkan
cinta dalam pengetahuan macam itu agaknya bisa dibilang jelimet, sabab itu
terlalu muluk untuk disebut makrifat, tapu juga terlalu sepele untuk disebut
rasam. Padahal cinta itu itu suatu keindahan yang tiada terperi. Tidak ada
persamaan arti, baik nomina, adjektiva, maupun adverbial, yang melebihi
keindahan cinta. Arkiran, tanpa diduga saya menumakan jawaban lewat lagu yang
saya buat itu, suatu apologetic sejati, utuh, dan mudah yang selama ini ada
dalam setiap detak jantung dan denyut nadi yaitu pada kalimat yang harus
diucapkan dengan tulus dengan jujur dengan bebas lewat jalinan
subjek-predikat-objek. Bahwa dalam “aku cinta kau” niscaya ada “kau cinta aku”.
Sekarang saya sudah
menemukannya. Di sinilah jantung hati beta. Alhamdulillah.
0 komentar:
Posting Komentar